Hubungan antara filsafat hukum, teori hukum, dan dogma hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membahas hakikat, asal-usul, dan tujuan hukum secara mendalam dan abstrak. Ia mengkaji “mengapa hukum ada”, apa itu keadilan, dan apa nilai moral di balik hukum.
Hakikat keadilan, hak, kewajiban.
Hubungan antara hukum dan moral.
Nilai dasar dalam pembentukan hukum.
Apakah hukum harus selalu adil?
Apakah hukum positif yang tidak adil tetap wajib ditaati?
Apakah ketaatan hukum bersumber dari otoritas atau dari moralitas?
➤ Tokoh penting: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Immanuel Kant, Hans Kelsen, Gustav Radbruch, Ronald Dworkin.
landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis — tiga aspek dasar dalam filsafat yang sering digunakan dalam analisis ilmu, termasuk ilmu hukum:
Ontologi berasal dari kata Yunani ontos (ada) dan logos (ilmu/pembahasan), artinya ilmu tentang "apa yang ada".
Apa hakikat realitas atau objek yang dikaji?
Apa "yang ada" dalam suatu bidang ilmu?
Landasan ontologis bertanya:
"Apa hakikat hukum?"
Apakah hukum adalah norma?
Apakah hukum adalah perintah negara?
Apakah hukum adalah produk moral?
Apakah hukum itu hanya tertulis atau juga tidak tertulis?
Contoh: Dalam filsafat hukum alam, ontologi hukum adalah “keadilan” atau “hukum kodrat”; sedangkan dalam positivisme hukum, ontologinya adalah “norma positif yang ditetapkan oleh negara”.
Epistemologi berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu), artinya ilmu tentang pengetahuan.
Bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar?
Bagaimana cara kita mengetahui hukum?
Apa sumber validitas dari pengetahuan hukum?
Landasan epistemologis bertanya:
"Bagaimana kita mengetahui apa yang disebut hukum?"
Apakah melalui teks undang-undang?
Apakah melalui kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin?
Apakah hukum bisa diverifikasi secara empiris atau hanya melalui penafsiran?
Contoh: Dalam teori hukum positivis (Kelsen), pengetahuan hukum diperoleh melalui analisis sistematis terhadap norma hukum formal. Sedangkan dalam teori hukum kritis, pengetahuan hukum bersifat historis dan ideologis.
Aksiologi berasal dari kata axios (nilai) dan logos (ilmu), artinya ilmu tentang nilai-nilai, terutama nilai moral dan etika.
Untuk apa hukum itu ada?
Nilai apa yang seharusnya diwujudkan oleh hukum?
Apakah hukum itu adil, etis, dan bermanfaat?
Landasan aksiologis bertanya:
"Nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum?"
Keadilan
Kepastian hukum
Kemanfaatan
Hak asasi manusia
Contoh: Dalam pemikiran Gustav Radbruch, ada tiga nilai dasar hukum: kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan — dan ketika nilai-nilai ini bertentangan, keadilan harus diutamakan.
Misalnya kita membahas UU Pajak:
Ontologis: Apakah pajak itu kewajiban moral atau sekadar perintah negara?
Epistemologis: Bagaimana kita tahu kewajiban pajak? Dari UU, peraturan teknis, atau praktik DJP?
Aksiologis: Apakah sistem pajak kita sudah adil dan memberikan manfaat bagi masyarakat?
Teori hukum adalah ilmu yang membahas struktur, sistematika, dan logika hukum secara umum, dan berusaha membangun kerangka konseptual untuk memahami bagaimana hukum bekerja dalam masyarakat. Teori hukum menghubungkan pemikiran filosofis dengan sistem dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
Menjelaskan konsep-konsep inti hukum seperti norma, sanksi, kewajiban.
Menyusun kerangka kerja ilmiah untuk menganalisis hukum.
Membangun metodologi berpikir hukum yang sistematis.
Teori positivisme hukum (Kelsen) → hukum adalah norma, tidak terkait moral.
Teori hukum alam (Aquinas, Finnis) → hukum harus berdasarkan moralitas.
➤ Tokoh penting: Hans Kelsen, H.L.A. Hart, John Austin, Gustav Radbruch, Ronald Dworkin.
Dogmatika hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas hukum positif (tertulis) yang berlaku di suatu tempat dan waktu tertentu, dan menafsirkannya secara sistematis untuk diaplikasikan.
Menginterpretasikan pasal-pasal undang-undang.
Menyusun sistem hukum nasional (misalnya KUHP, KUHPerdata, UU Pajak).
Menjawab pertanyaan: “Apa hukum yang berlaku dalam kasus ini?”
Bersifat normatif-positifistik.
Fokus pada aturan hukum yang konkret.
Digunakan dalam praktik hukum (oleh hakim, jaksa, advokat, dosen hukum).
➤ Disebut juga “ilmu hukum positif” atau “ilmu hukum dogmatis”.
Ketiga cabang ini terkait hierarkis dan fungsional. Hubungan mereka dapat digambarkan sebagai berikut:
FILSAFAT HUKUM
➤ Mendasari nilai, makna, dan keadilan hukum
➤ Tanya: Mengapa hukum itu adil atau tidak?
TEORI HUKUM
➤ Membangun konsep dan sistem hukum secara logis
➤ Tanya: Bagaimana hukum bekerja sebagai sistem?
DOGMATIKA HUKUM
➤ Menerapkan dan menafsirkan norma hukum positif
➤ Tanya: Apa bunyi dan makna pasal ini, dan bagaimana penerapannya?
Misalnya:
Filsafat hukum menyatakan bahwa hukum harus adil.
Teori hukum menyusun prinsip bahwa norma hukum harus berlaku umum, tidak diskriminatif.
Dogmatika hukum menafsirkan Pasal 27 UUD 1945 ("semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum") dan mengujinya dalam praktik melalui peraturan dan putusan pengadilan.
HUBUNGAN HERMENEUTIKA, INTERPRETASI DAN KOHERENSI HUKUM
Hubungan antara hermeneutika, interpretasi hukum, dan koherensi hukum sangat erat karena ketiganya merupakan unsur fundamental dalam memahami, menerapkan, dan menjaga konsistensi sistem hukum. Berikut penjelasannya secara konseptual dan sistematis:
Hermeneutika adalah teori dan metode penafsiran, awalnya berkembang dalam penafsiran teks suci dan sastra, tetapi kemudian menjadi dasar dalam ilmu hukum untuk menafsirkan teks undang-undang, yurisprudensi, dan doktrin hukum.
➤ Fungsi hermeneutika dalam hukum:
Menyediakan kerangka epistemologis dan filosofis untuk proses penafsiran hukum.
Memahami makna norma hukum secara kontekstual: historis, sosiologis, maupun linguistik.
Mendorong pendekatan reflektif terhadap hukum, di mana makna tidak hanya ditentukan secara literal, tetapi juga melalui pemahaman bersama dalam konteks sosial.
“Understanding is not a method but an event” – Hans-Georg Gadamer, Truth and Method.
Interpretasi hukum adalah penerapan prinsip hermeneutika untuk memahami dan menerapkan norma hukum dalam praktik. Proses ini melibatkan:
Penafsiran literal (gramatikal).
Penafsiran sistematis dan teleologis (tujuan norma hukum).
Penafsiran historis (niat pembuat undang-undang).
➤ Hubungan langsung:
Hermeneutika → menyediakan teori → Interpretasi hukum → aplikasi pada norma konkret.
Contoh:
Ketika hakim menafsirkan Pasal dalam KUHP atau UU Perpajakan, ia tidak hanya membaca teks, tetapi juga mempertimbangkan maksud pembuat UU, nilai keadilan, dan konteks sosial saat ini. Proses ini adalah kerja hermeneutik dalam praktik hukum.
Koherensi hukum mengacu pada konsistensi dan keselarasan antar norma dalam suatu sistem hukum, agar tidak terjadi kontradiksi. Konsep ini sangat penting dalam hermeneutika hukum karena:
Hermeneutika tidak hanya mencari makna tunggal dari suatu pasal, tetapi makna yang selaras dengan sistem hukum secara keseluruhan.
Interpretasi hukum yang baik adalah yang menjaga kesatuan makna dan nilai dalam sistem hukum.
➤ Menurut Ronald Dworkin, seorang filsuf hukum terkenal:
Interpretasi hukum harus bersifat koheren secara moral dan struktural, yakni:
Menciptakan kesatuan nilai hukum (moral reading).
Menjaga konsistensi antar putusan atau norma (legal coherence).
“Law as integrity asks judges to interpret the law so that it shows the community’s legal practices in their best moral light” – Ronald Dworkin, Law's Empire (1986).
Hermeneutika → memberi kerangka teoritis untuk memahami makna hukum.
Interpretasi hukum → adalah aplikasi konkret dari prinsip hermeneutika terhadap teks hukum.
Koherensi hukum → adalah hasil ideal dari proses interpretasi yang mengikuti pendekatan hermeneutik yang tepat.
Ketiganya membentuk mata rantai:
Hermeneutika → Interpretasi hukum → Koherensi hukum,
yang menjamin hukum dipahami, diterapkan, dan berkembang secara adil, konsisten, dan kontekstual.
Aliran hermeneutika dalam perkembangan filsafat dan ilmu hukum mengalami evolusi yang signifikan dari masa ke masa, dengan ciri khas metodologi yang khas di setiap periode. Berikut adalah pemaparan tentang hubungan perkembangan aliran hermeneutika dengan ciri khas penggunaan metodologi ilmu hukumnya menurut periode waktu:
Pada masa ini, hermeneutika digunakan terutama untuk memahami teks-teks suci dan filsafat. Di dalam konteks hukum, pemahaman terhadap hukum tertulis, seperti hukum Romawi atau perundang-undangan yang ada pada masa itu, dilakukan dengan pendekatan tafsir (interpretasi) yang berfokus pada pencarian makna asli atau hakiki dari teks.
Ciri khas metodologi ilmu hukum:
Tekstualitas: Penekanan pada pemahaman literal dan eksemantis dari teks hukum.
Historisitas: Menggunakan latar belakang sejarah dan konteks sosial untuk menafsirkan norma hukum yang berlaku.
Friedrich Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey memainkan peran penting dalam mengembangkan hermeneutika modern. Pada periode ini, perhatian beralih pada pemahaman teks melalui pendekatan psikologis dan eksistensial, mengingat kondisi sosial dan budaya yang melingkupi teks tersebut.
Ciri khas metodologi ilmu hukum:
Subjektivitas dan Pemahaman: Pemahaman hukum tidak hanya didasarkan pada teks, tetapi juga pada pemahaman subjektif dari pembuat hukum dan penerima hukum.
Hermeneutika Fenomenologis: Fokus pada pengalaman dan perspektif individu yang terlibat dalam penerapan hukum, serta pengaruh konteks sosial terhadap interpretasi hukum.
Hans-Georg Gadamer mengembangkan pendekatan hermeneutika filosofis, yang menekankan dialog antara pembaca dan teks, serta pentingnya prasangka (prejudices) dalam proses interpretasi. Interpretasi dianggap sebagai proses yang tak pernah selesai, dengan makna yang terus berkembang melalui interaksi antara teks dan pembaca.
Ciri khas metodologi ilmu hukum:
Dialogis dan Interpretatif: Dalam ilmu hukum, penafsiran terhadap norma hukum bukan hanya dilakukan oleh hakim atau pembuat hukum, tetapi juga melibatkan masyarakat dan pengalaman individu dalam proses hukum.
Historis dan Sosial: Hukum dipahami sebagai produk sejarah dan budaya yang berkembang dalam interaksi sosial, sehingga keputusan hukum harus memperhatikan dinamika sosial yang ada.
Aliran postmodernisme memberikan pendekatan hermeneutik yang lebih kritis, dengan Michel Foucault dan Derrida sebagai tokoh sentral. Mereka memandang bahwa teks tidak hanya mencerminkan kebenaran yang objektif, tetapi juga dipengaruhi oleh kekuasaan dan ideologi.
Ciri khas metodologi ilmu hukum:
Dekonstruksi: Hukum bukanlah suatu sistem yang utuh dan objektif, tetapi teks hukum harus dibaca dalam konteks kekuasaan, ketidaksetaraan, dan dominasi yang ada dalam masyarakat.
Kritik terhadap Otoritas: Proses interpretasi hukum harus melibatkan kritik terhadap struktur kekuasaan dan dominasi dalam sistem hukum yang ada.
Hermeneutika kontemporer lebih mengarah pada pendekatan yang lebih inklusif dan interdisipliner, dengan memanfaatkan teknologi dan data untuk menganalisis teks hukum. Selain itu, munculnya hukum internasional dan hak asasi manusia menuntut penafsiran yang lebih universal dan sensitif terhadap keanekaragaman budaya.
Ciri khas metodologi ilmu hukum:
Interdisipliner: Penggunaan pendekatan sosiologi, psikologi, dan teknologi dalam menganalisis dan menafsirkan norma hukum.
Inklusivitas dan Globalisasi: Penafsiran hukum yang lebih terbuka terhadap perspektif global, hak asasi manusia, dan keberagaman budaya.
Seiring waktu, aliran hermeneutika berkembang dari pemahaman yang lebih tertutup pada teks (hermeneutika klasik) ke pemahaman yang lebih kompleks dan kritis terhadap konteks sosial, kekuasaan, dan ideologi yang terlibat dalam hukum. Dalam setiap periode, metodologi ilmu hukum mengikuti perkembangan ini, dengan penekanan pada pentingnya konteks, dialog, dan kritik terhadap struktur hukum yang ada.
Secara keseluruhan, metodologi hermeneutika dalam ilmu hukum berfungsi untuk membuka lapisan-lapisan makna yang ada di balik teks hukum, memperluas cara kita memahami peraturan, dan menghubungkannya dengan realitas sosial yang terus berkembang.
Hermeneutika awal digunakan untuk menafsirkan teks-teks suci dan hukum, terutama dalam konteks agama dan filsafat. Pemahaman hukum dilakukan secara literal dan tekstual.
Tokoh: Plato, Aristoteles, Santo Agustinus, Thomas Aquinas.
Metodologi Hukum:
Penekanan pada teks hukum sebagai norma tertinggi.
Tafsir hukum bersifat literal dan objektif.
Penekanan pada intentio legis (niat undang-undang).
"Interpretation is the process of bringing out the meaning of a law by means of reason and logic" (Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q. 95).
Hermeneutika dikembangkan sebagai ilmu pemahaman teks dengan memasukkan unsur psikologis dan historis. Schleiermacher menyarankan bahwa memahami teks berarti memahami maksud pengarang.
Tokoh: Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey.
Metodologi Hukum:
Hukum dipahami dalam konteks sejarah dan psikologi pembuat hukum.
Digunakan dalam hukum kodifikasi Eropa kontinental.
Dilthey mengenalkan "Verstehen" (pemahaman) dalam ilmu sosial dan hukum.
"To understand a text means to understand it better than its author" (Schleiermacher, cited in Palmer, Hermeneutics, 1969).
“In the human sciences, we interpret the expression of life by reliving it in ourselves” (Dilthey, Introduction to the Human Sciences, 1883).
Gadamer memperkenalkan hermeneutika sebagai dialog antara pembaca dan teks. Ia menolak metode objektif sepenuhnya dan memperkenalkan konsep "fusion of horizons" (penyatuan cakrawala antara masa lalu dan masa kini).
Tokoh: Hans-Georg Gadamer.
Metodologi Hukum:
Interpretasi hukum bersifat dialogis dan terbuka terhadap makna baru.
Menekankan pra-pemahaman (prejudices) dalam memahami norma hukum.
Digunakan dalam pendekatan sosiologis dan budaya terhadap hukum.
"Understanding is always interpretation, and interpretation is always situated in a tradition" (Gadamer, Truth and Method, 1960).
Tokoh seperti Foucault dan Derrida menekankan pentingnya kekuasaan, ideologi, dan struktur sosial dalam teks. Dekonstruksi teks hukum menjadi penting untuk mengungkap dominasi dan ketimpangan.
Tokoh: Michel Foucault, Jacques Derrida.
Metodologi Hukum:
Hukum dilihat sebagai alat kekuasaan dan kontrol sosial.
Pendekatan kritik ideologi dan dekonstruktif terhadap sistem hukum.
Berkembang dalam pendekatan critical legal studies.
"Where there is power, there is resistance" (Foucault, The History of Sexuality, 1976).
"There is nothing outside the text" (Derrida, Of Grammatology, 1967).
Pendekatan hermeneutika modern kini bersifat interdisipliner, menggabungkan hukum, sosiologi, teknologi, dan nilai-nilai HAM global. Penafsiran hukum menjadi semakin kontekstual dan terbuka.
Tokoh: Paul Ricoeur, Martha Nussbaum (dalam pendekatan humanisme hukum).
Metodologi Hukum:
Hukum dianalisis secara interdisipliner.
Ditekankan pendekatan kemanusiaan, hak asasi manusia, dan global ethics.
Konsep narrative identity digunakan dalam pemahaman norma hukum.
“The text’s meaning is not something behind the text but something ahead of it, its project” (Ricoeur, Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, 1976).
STUFENBAU THEORY
Grundnorm (Norma dasar)
↓
Konstitusi (UUD/Undang-Undang Dasar)
↓
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
↓
Peraturan Pelaksana/Keputusan
↓
Keputusan Administratif/Kebijakan Teknis
↓
Tindakan Hukum Konkret (putusan, sanksi)