Dakwaan kabur (dalam istilah hukum dikenal dengan obscuur libel) adalah surat dakwaan yang tidak menguraikan perbuatan pidana secara jelas, cermat, dan lengkap, sehingga terdakwa tidak dapat memahami secara tepat apa yang didakwakan kepadanya dan tidak dapat menyusun pembelaan secara efektif.
Tidak jelas siapa yang melakukan perbuatan.
Waktu dan tempat perbuatan tidak disebutkan atau tidak spesifik.
Uraian fakta perbuatan tidak lengkap – hanya menyebut pasal pidana tanpa penjabaran peristiwa konkret.
Tidak memuat unsur-unsur delik secara utuh sesuai dengan pasal yang didakwakan.
Tidak ada hubungan logis antara perbuatan yang dilakukan dan pasal yang dikenakan.
Dakwaan yang kabur dapat dinyatakan:
Batal demi hukum, sebagaimana dimungkinkan oleh Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yang menyatakan:
"Dalam hal surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka surat dakwaan batal demi hukum."
Sudah dijelaskan sebelumnya.
Artinya dakwaan tidak jelas atau membingungkan.
Kesalahan dalam menentukan identitas terdakwa.
Misalnya, yang didakwa bukan pelaku yang sebenarnya, atau ada kerancuan antara pelaku dan saksi.
Hal ini bisa menyebabkan gugurnya perkara karena subjek hukum tidak tepat.
Kesalahan dalam menyebut objek tindak pidana.
Contoh: disebutkan barang curian adalah "mobil", padahal yang sebenarnya "sepeda motor".
Bisa menyebabkan dakwaan tidak memenuhi unsur materiil delik.
Asas hukum yang berarti seseorang tidak dapat diadili dua kali atas perkara yang sama.
Jika terbukti, jaksa tidak dapat menuntut kembali dalam kasus yang sudah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap.
Dakwaan atau tuntutan melebihi apa yang menjadi kewenangan atau lingkup perkara.
Biasanya ditujukan pada hakim, tapi juga bisa digunakan oleh pembela untuk menunjukkan bahwa tuntutan jaksa melampaui batas fakta atau pasal yang didakwakan.
Dakwaan atau proses hukum dianggap terlalu dini atau belum saatnya.
Contoh: dakwaan diajukan sebelum hasil penyidikan lengkap (belum P-21).
Dakwaan kurang teliti dalam menyusun unsur-unsur tindak pidana.
Misalnya, jaksa menyebut Pasal 372 KUHP (penggelapan) tapi tidak menguraikan unsur "menguasai barang secara melawan hukum".
Dakwaan tidak memuat seluruh unsur delik.
Misalnya, menyebut ada kerugian tapi tidak menyebutkan siapa yang dirugikan, atau bagaimana kerugian itu timbul.
Hampir sama dengan obscuur libel, tapi bisa lebih mengarah pada tidak jelasnya hubungan sebab-akibat atau fakta yang terlalu umum.
Dakwaan berisi pengulangan atau tumpang tindih antar pasal atau uraian.
Sering muncul dalam dakwaan subsidiair, namun kalau tidak disusun dengan tepat bisa membingungkan dan dianggap tidak efektif.
Dasar hukum pra-peradilan terdapat dalam:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP
Menyebutkan bahwa pra-peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
Sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
Permintaan ganti rugi dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan atau tidak sah ditangkap/ditahan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 memperluas objek pra-peradilan, termasuk:
Keabsahan penetapan tersangka
Penyitaan
Penggeledahan
Putusan ini memperkuat hak warga negara terhadap perlindungan hukum.
1. Kasus Komjen Budi Gunawan (2015)
Kronologi: Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan gratifikasi.
Langkah Hukum: Ia mengajukan pra-peradilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Putusan: Hakim memenangkan Budi Gunawan, menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah karena tidak melalui mekanisme yang benar menurut hukum.
Dampak: Putusan ini memicu perdebatan besar dan menjadi preseden perluasan objek pra-peradilan.
2. Kasus Haji Lulung vs KPK
Haji Lulung mengajukan pra-peradilan karena keberatan atas penyitaan dokumen oleh KPK.
Namun permohonannya ditolak karena penggeledahan sudah mendapatkan izin dari pengadilan.
Pra-peradilan adalah instrumen penting dalam sistem peradilan pidana Indonesia untuk menjaga agar tindakan aparat penegak hukum tidak melanggar hak-hak individu. Dengan dasar hukum KUHAP dan diperkuat oleh putusan MK, pra-peradilan menjadi ruang untuk memeriksa keabsahan tindakan-tindakan hukum sebelum perkara memasuki tahap persidangan.
Pihak yang merasa dirugikan (misalnya tersangka atau kuasa hukumnya) mengajukan permohonan tertulis ke Pengadilan Negeri yang berwenang.
Permohonan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan harus memuat:
Identitas pemohon
Identitas termohon (biasanya penyidik, jaksa, atau KPK)
Uraian alasan permohonan
Objek yang dimohonkan (misalnya penangkapan tidak sah, penghentian penyidikan, dll.)
Ketua Pengadilan Negeri akan menetapkan hari sidang selambat-lambatnya 7 hari setelah permohonan diterima.
Persidangan dilakukan secara terbuka dan bersifat cepat.
Para pihak (pemohon dan termohon) menyampaikan dalil-dalil dan bukti-bukti.
Hakim memeriksa legalitas tindakan aparat penegak hukum, bukan pokok perkara pidana.
Hakim harus mengeluarkan putusan dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari sejak sidang dimulai (Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP).
Putusan dibacakan di sidang terbuka untuk umum.
Hakim bisa mengeluarkan putusan dengan dua kemungkinan:
Tindakan aparat penegak hukum (penangkapan, penahanan, penyitaan, penetapan tersangka, dll.) dinyatakan tidak sah.
Contoh:
Penetapan tersangka dibatalkan.
Penahanan harus dihentikan.
Penyitaan dianggap tidak sah dan barang harus dikembalikan.
➡ Biasanya diikuti dengan perintah kepada aparat penegak hukum untuk menghentikan proses yang sedang berjalan dan/atau merehabilitasi nama baik pemohon.
Hakim menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan aparat telah sesuai hukum.
Proses penyidikan atau penuntutan dapat dilanjutkan.
Putusan pra-peradilan bersifat final dan tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
Namun, Mahkamah Agung bisa membatalkan putusan pra-peradilan melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) jika ada syarat luar biasa.
Meskipun berbeda, pra-peradilan dan putusan sela saling berkaitan dalam menjaga keadilan dan prosedur hukum, antara lain:
Keduanya bisa menjadi alat kontrol terhadap kewenangan aparat hukum dan hakim.
Pra-peradilan mengontrol proses penyidikan/penuntutan.
Putusan sela mengontrol jalannya persidangan utama.
Keduanya dapat membatalkan atau menghentikan proses hukum lebih lanjut jika ditemukan cacat prosedur.
Jika penangkapan atau penetapan tersangka dinyatakan tidak sah dalam pra-peradilan, proses penyidikan bisa dihentikan.
Jika hakim dalam putusan sela menyatakan gugatan tidak sah atau pengadilan tidak berwenang, perkara pokok bisa gugur.
Keduanya memberikan perlindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan.
Misalnya, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka secara sewenang-wenang bisa minta perlindungan lewat pra-peradilan.
Dalam proses persidangan, bila terjadi pelanggaran hukum acara, putusan sela bisa dikeluarkan untuk memperbaiki arah persidangan.
Pra-peradilan: Sebelum sidang pokok dimulai, seseorang menggugat bahwa penangkapannya tidak sah → Hakim pra-peradilan membatalkan penetapan tersangka.
Putusan sela: Dalam persidangan pidana, kuasa hukum terdakwa menyatakan pengadilan tidak berwenang karena tempat kejadian perkara berada di wilayah hukum lain → Hakim membuat putusan sela bahwa pengadilan tidak berwenang.
Pra-peradilan dan putusan sela memiliki fungsi berbeda dalam tahapan proses hukum:
Pra-peradilan berfungsi sebagai alat kontrol pra-sidang pokok terhadap tindakan aparat hukum.
Putusan sela adalah keputusan sementara dalam sidang pokok untuk menanggapi masalah hukum tertentu sebelum pokok perkara diperiksa lebih lanjut.
PEMERIKSAAN ACARA BIASA
PEMBACAAN DAKWAAN
1.Hakim ketua mempersilahkan kepada JPU untuk membacakan surat dakwaan dan meminta kepada terdakwa untuk mendengarkan dengan seksama pembacaan surat dakwaan dan selanjutnya mempersilahkan pada Penuntut Umum untuk membacakan surat dakwaan.
2.JPU membacakan surat dakwaan dengan 2 cara:
a. Duduk b.Berdiri Jika surat dakwaanya panjang maka pembacaannya dapat digilir sesama jPU.
3. Hakim ketua menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah paham atau mengerti tentang apa yang didakwakan? Apabila terdakwa tidak mengerti maka JPU atas permintaan hakim ke tua, wajib memberi penjelasannya
EKSEPSI
Atas dakwaan Penuntut Umum, terdakwa memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau tangkisan terhadap dakwaan tersebut. (Pasal 156 ayat (1) KUHAP)
Keberatan diajukan setelah surat dakwaan dibacakan oleh Penuntut Umum dan keberatan diajukan secara trtulis sebelum sidang memeriksa materi perkara, apabila keberatan diajukan di luar kesempatan tersebut tidak akan diperhatikan
•Keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya:
- Kompetensi Absolut: Berhubungan dengan kekuasaan mengadili dari suatu pengadilan
- Kompetensi Relatif: Tiap pengadilan itu mempunyai daerah hukum
•Keberatan bahwa surat dakwaan tidak dapat diterima
- Pasal 75 KUHP: Mengatur orang yang mengadukan Pengaduan berhak menarik kembali dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan
- Kasus Pidana yang diatu dalam Pasal 76 KUHAP ( nebis in idem)
- Kasus pidana yang diatur dalam Pasal 78 KUHAP (daluwarsa)
- Surat Dakwaan yang didakwakan oleh Penuntut Umum bukan perkara Pidana, tetapi Perdata
•Keberatan bahwa surat dakwaan harus dibatalkan
Pasal 156 ayat (1) KUHAP
Putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap hal-hal yang belum menyangkut materi pokok perkara yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kewenangan mengadili, dapat atau tidak dapat diterimanya surat dakwaan atau masalah batalnya surat dakwaan
Yahya Harahap:
“Ketentuan-Ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”
Wirjono Projodikoro:
“Bahwa sistem ini bertentangan dengan prinsip, bahwa dalam acara pidana suatu putusan hakim harus berdasar atas kebenaran.”
TEORI PEMBUKTIAN
•Positief Wettelijk Bewisjs Theory
•Conviction intimie
•Conviction La Raisonne
•Negatif Wettelijk Bewijs Theory ( Yang dianut oleh KUHP)
PROSES PEMBUKTIAN
•Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti
•Apakah telah terbukti bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya
•Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu
•Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa
ALAT BUKTI (Pasal 184 (1) KUHAP
•Keterangan saksi ( Pasal 1 butir 26-27, 185 (1))
•Keterangan ahli ( Pasal 1 butir 28, Pasal 120, Pasal 133 dan Pasal 179 KUHAP)
•Surat (Pasal 187)
•Petunjuk (Pasal 188 ayat (1) KUHAP)
•Keterangan terdakwa ( Pasal 189 (1) KUHAP)
•+ Keyakinan Hakim
Keterangan Saksi ( Pasal 1 butir 26-27, 185 (1))
•Syarat Sahnya: Syarat Formil (Pasal 160, 177 KUHAP), Syarat Materiil ( Pasal 1 butir 26-27)
•Pengecualian: Abosolut ( Pasal 171) dan Relatif (Pasal 168 dan 170)
•Macam-Macam Saksi:
a)Saksi A Charge
b)Saksi Ade Charge
c)Saksi Korban
d)Saksi pelapor
e)Saksi Mahkota
f)Saksi Berantai
Saksi T. Auditu
Keterangan ahli ( Pasal 1 butir 28, Pasal 120, Pasal 133 dan Pasal 179 KUHAP)
•Syarat Keterangan Ahli : Materil ( Pasal 1 angka 28), Formil ( Pasal 160 ayat 4)
•Macam/Kategori: Deskundige, Getuige Deskundige (Saksi ahli), Zaakundige
SURAT KUHAP 187
•Kategori: Resmi (Pasal 187 huruf a,b,c) & Tak Resmi ( Pasal 187 huruf d)
PETUNJUK
•Sumber petunjuk: Pasal 188 ayat 2
•Peniliaian Alat Bukti Petunjuk : Pasal 188 ayat 3
KETERANGAN TERDAKWA
•Isi Keterangan Terdakwa : Sangkalan (Sebagaian atau seluruhnya), Pengakuan (sebagaian atau seluruhnya)
•Syarat Keterangan Terdakwa: Pasal 189 (1)
•Keterangan terdakwa di luar sidang: Pasal 189 ayat 2
•Pengakuan terdakwa: Pasal 189 ayat 3 dan 4
TUNTUTAN PIDANA (REQUISITOIR)
Langkah selanjutnya yang diberikan kepada kalsa penuntut umum dalam lanjutan sidang pengadilan suatu perkara pidana setelah pemeriksaan alat-alat bukti atau pembuktian
•Identitas terdakwa
•Dakwaan (primair, subsidair dan seterusnya)
•Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan yang diawali dengan uraian tentang:
a) Keterangan saksi Keterangan ahli
b) Surat
c) Petunjuk
d) Keterangan terdakwa
e) + Keyakinan Hakim
•Analisis yuridis
•Aspek pertimbangan pemidanaan
•Amar tuntutan
•Dihukum
•Dibebaskan
•Dilepaskan
PLEDOI (PEMBELAAN) (182 ayat 1 huruf b)
Salah satu hak yang diberikan kepada seorang tersangka atau terdakwa dalam kaitannya dengan asas praduga tak bersalah. Pembelaan dalam arti khusus berkaitan dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana menurut KUHAP adalah pembelaan yang merupakan jawaban terdakwa atau penasihat hukum atas tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum.
REPLIK DUPLIK
1.Setelah terdakwa dan atau Penasehat Hukum mengajukan pembelaan, hakim yang memimpin sidang akan memberi kesempatan kepada pihak jaksa penuntut umum untuk menanggapi pembelaan tersebut.
2.Tanggapan JPU atas pembelaan terdakwa atau penasihat hukum dinamakan REPLIK.
3.Selanjutnya atas REPLIK penuntut umum, terdakwa/penasihat hukum diberi kesempatan untuk menanggapi replik tersebut.
4.Tanggapan terdakwa atau penasihat hukum atas REPLIK penuntut umum dalam perkara pidana disebut sebagai DUPLIK.
Sumber : PPT Dr. Ahmad Sofian, SH, MA
PEMERIKSAAN ACARA BIASA
Penunjukan hakim atau majelis hakim dilakukan oleh KPN setelah Panitera mencatatnya di dalam buku register perkara seterus¬nya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan Hakim/ Majelis yang menyidangkan perkara tersebut.
Ketua Pengadilan Negeri dapat mendelegasikan pembagian perkara kepada Wakil Ketua terutama pada Pengadilan Negeri yang jumlah perkaranya banyak.
Pembagian perkara kepada Majelis/ Hakim secara merata dan terhadap perkara yang menarik pehatian masyarakat, Ketua Majelisnya KPN sendiri atau majelis khusus.
Sebelum berkas diajukan ke muka persidangan, Ketua Majelis dan anggotanya mempelajari terlebih dahulu berkas perkara.
Sebelum perkara disidangkan, Majelis terlebih dahulu mempelajari berkas perkara, untuk mengetahui apakah surat dakwaan telah memenuhi-syarat formil dan materil.
Syarat formil: nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, tempat tinggal, pekerjaan terdakwa, jenis kelamin, kebangsaan dan agama.
Syarat-syarat materiil:
Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti);
Perbuatan yang didakwakan harus jelas di¬rumuskan unsur-unsurnya;
Hal-hal yang menyertai perbuatan-perbuatan pidana itu yang dapat menimbulkan masalah yang memberatkan dan meringankan.
Mengenai butir a dan b merupakan syarat mutlak, apabila syarat-syarat tersebut tidak ter¬penuhi dapat mengakibatkan batalnya surat dakwaan (pasal 143 ayat 3 KUHAP).
Dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa perkara menjadi kewenangan pengadilan lain maka berkas perkara dikembalikan dengan penetapan dan dalam tempo 2 X 24 jam, dikirim kepada Jaksa Penuntut Umum dengan perintah agar diajukan ke Pengadilan yang berwenang (pasal 148 KUHAP).
Jaksa Penuntut Umum selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari dapat mengajukan perlawanan terhadap penetapan tersebut dan dalam waktu 7 (tujuh) hari Pengadilan Negeri wajib mengirimkan perlawanan tersebut ke Pengadilan Tinggi (pasal 149 ayat 1 butir d KUHAP).
Pemeriksaan dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip persidangan diantaranya pemeriksaan terbuka untuk umum, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pemeriksaan secara langsung dengan lisan.
Terdakwa yang tidak hadir pada sidang karena surat panggilan belum siap, persidangan ditunda pada hari dan tanggal berikutnya.
Ketidakhadiran terdakwa pada sidang tanpa alasan yang sah, sikap yang diambil:
sidang ditunda pada hari dan tanggal berikutnya;
memerintahkan Penuntut Umum untuk memanggil terdakwa;
jika panggilan kedua, terdakwa tidak hadir lagi tanpa alasan yang sah, memerintahkan Penuntut Umum memanggil terdakwa sekali lagi;
jika terdakwa tidak hadir lagi, maka memerintahkan Penuntut Umum untuk menghadirkan terdakwa pada sidang berikutnya secara paksa.
Keberatan diperiksa dan diputus sesuai dengan ketentuan KUHAP.
Perkara yang terdakwanya ditahan dan diajukan permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan, maka dalam hal dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut harus atas musyawarah Majelis Hakim.
Dalam hal permohonan penangguhan/ pengalihan penahanan dikabulkan, penetapan ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Hakim Anggota.
Penahanan terhadap terdakwa dilakukan berdasar alasan sesuai Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP, dalam waktu sesuai Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 KUHAP.
Penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan yang berbentuk penetapan.
Penangguhan penahanan dilakukan sesuai Pasal 31 KUHAP.
Dikeluarkannya terdakwa dari tahanan dilakukan sesuai Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 190 huruf b.
Hakim yang berhalangan mengikuti sidang, maka KPN menunjuk Hakim lain sebagai penggantinya.
Kewajiban Panitera Pengganti yang mendampingi Majelis Hakim untuk mencatat seluruh kejadian dalam persidangan.
Berita Acara Persidangan mencatat segala kejadian disidang yang berhubungan dengan pemeriksaan perkara, memuat hal penting tentang keterangan saksi dan keterangan terdakwa, dan catatan khusus yang dianggap sangat penting.
Berita Acara Persidangan ditandatangani Ketua Majelis dan Panitera Pengganti, sebelum sidang berikutnya dilaksanakan.
Berita Acara Persidangan dibuat dengan rapih, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip-ex jika terdapat kesalahan tulisan.
Ketua Majelis Hakim/ Hakim yang ditunjuk bertanggung jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
Segera setelah putusan diucapkan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti menandatangani putusan.
Segera setelah putusan diucapkan pengadilan memberi¬kan petikan putusan kepada terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan Penuntut Umum.
Sumber: website PN Stabat