1) Al-Ahkam as-Sultaniyyah – Al-Mawardi (450H)
🔹 Ringkasan isi bab kharaj:
Kharaj adalah pungutan yang diwajibkan negara atas tanah hasil futuhat (penaklukan) yang menjadi milik kaum muslimin.
Kharaj digunakan untuk kebutuhan negara: gaji tentara, pembangunan fasilitas umum, operasional pemerintahan.
Besarnya kharaj boleh ditetapkan penguasa sesuai kemampuan tanah dan kondisi rakyat, tanpa membebani secara zalim.
Penguasa yang adil dalam menetapkan kharaj mendapat pahala karena menjaga kemaslahatan umat.
🔹 Terjemahan kutipan:
“Adapun kharaj, ia adalah harta yang wajib diambil dari tanah yang ditaklukkan, yang dikelola untuk kepentingan umat Islam dan kemaslahatan mereka. Besaran kharaj disesuaikan dengan hasil tanah dan kondisi rakyat, sehingga tidak memberatkan mereka.”
(Al-Ahkam as-Sultaniyyah, bab kharaj)
2) Al-Mughni – Ibnu Qudamah (574H)
🔹 Ringkasan isi bab kharaj dan pajak:
Kharaj ditetapkan pada tanah yang tidak dibagikan ke mujahidin, tapi tetap dimiliki negara untuk kepentingan umat.
Imam (penguasa) boleh mengambil kharaj sebagai pemasukan negara.
Jika zakat dan pemasukan negara lainnya tidak cukup untuk biaya pertahanan dan kepentingan umum, penguasa boleh mewajibkan pungutan tambahan secara adil.
🔹 Terjemahan kutipan:
“Boleh bagi imam mewajibkan kharaj pada tanah yang dikuasai kaum muslimin. Kharaj menjadi pemasukan yang sah untuk membiayai keperluan kaum muslimin, seperti pertahanan negara dan kemaslahatan publik.”
(Al-Mughni, bab kharaj)
3) Al-Mabsuth – As-Sarakhsi (Mazhab Hanafi/483H)
🔹 Ringkasan isi bab kharaj:
Kharaj merupakan hak tetap negara atas tanah-tanah kharajiyyah (tanah yang tunduk pada kewajiban pajak tanah).
Imam memiliki kewenangan menyesuaikan kharaj sesuai potensi tanah dan kondisi ekonomi rakyat.
Dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (seperti krisis), imam boleh mewajibkan pungutan kepada orang kaya untuk membiayai kepentingan umat, meski itu di luar zakat.
🔹 Terjemahan kutipan:
“Kharaj diambil sebagai hak atas tanah yang dikuasai kaum muslimin, yang wajib dibayarkan untuk kepentingan umat. Dan jika negara membutuhkan biaya untuk kepentingan mendesak yang tidak tercukupi oleh zakat, penguasa boleh memungut dari orang-orang kaya sesuai kemampuan mereka.”
(Al-Mabsuth, bab ahkam al-kharaj)
Kesimpulan dari ketiga kitab:
✅ Ulama sepakat, kharaj adalah bentuk pajak tanah yang sah menurut syariat.
✅ Selain zakat, penguasa boleh mengambil pajak lain demi kebutuhan negara dan kepentingan rakyat, asalkan:
tidak menindas,
sesuai kemampuan wajib pajak,
digunakan untuk maslahat bersama.
memang ada hadis yang secara tegas menyinggung tentang pemungut pajak zalim, yaitu dalam riwayat terkait Al-Mukus (المكوس). Kata muks dalam hadis klasik sering diterjemahkan sebagai “pajak yang zalim”—yakni pungutan di luar syariat atau pungutan yang disertai pemerasan, bukan pajak yang sah untuk kemaslahatan umat.
Berikut hadisnya:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang memungut muks (pajak/pungutan zalim)."
— (HR. Ahmad no. 22160, dinilai hasan oleh sebagian ulama)
Dalam kitab-kitab syarah hadis dan fiqh klasik, muks dijelaskan sebagai pungutan di luar ketentuan syariat, yang diambil oleh petugas atau penguasa dari orang yang lewat, pedagang, atau rakyat, untuk kepentingan pribadi atau menindas.
Contohnya:
Pungutan liar oleh petugas di pasar atau jalan.
Pajak tambahan yang tidak sah yang dibebankan kepada rakyat dengan cara memaksa.
Bukan berarti pajak yang ditetapkan negara secara sah dan digunakan untuk kemaslahatan rakyat, seperti untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dll. Sebab, dalam Islam, negara boleh mengambil kharaj, ushr, jizyah, dll. jika sesuai syariat dan adil.
Hadis ini bukan ayat, jadi tidak ada asbabun nuzul, tetapi ada asbab wurud (sebab Nabi mengucapkan hadis). Ulama menjelaskan, Nabi ﷺ mengutuk praktik pungutan liar yang umum terjadi di masa Jahiliyah, di mana suku atau penguasa lokal menahan pedagang lewat di wilayah mereka dan meminta “pajak” tidak resmi dengan ancaman kekerasan. Nabi menegaskan bahwa perbuatan seperti itu adalah dosa besar.
Syaikh Yusuf al-Qaradawi (1926-2022):
“Fiqh az-Zakah” (فقه الزكاة)
— karya Syaikh Yusuf al-Qaradawi, yang membahas secara komprehensif zakat dan berbagai kewajiban keuangan dalam Islam, termasuk pajak modern.
Kutipan terkait pajak modern:
Dalam Fiqh az-Zakah, Juz 2, hlm. 997-998 (cetakan Muassasah ar-Risalah), beliau menjelaskan:
وما تأخذه الدولة العادلة من ضرائب وفق قوانين عادلة وشفافة لتأمين مصالح الأمة العامة، كإقامة الجيوش، والطرق، والمدارس، والمستشفيات، لا يعد من المكوس المحرمة، بل هو مشروع إذا كان ضمن حدود الشرع، لا ظلم فيه ولا إسراف.
“Apa yang dipungut negara yang adil berupa pajak sesuai undang-undang yang adil dan transparan, untuk kepentingan umum seperti membangun tentara, jalan, sekolah, dan rumah sakit, maka itu bukan termasuk muks yang diharamkan. Bahkan ia sah (masyru’) selama tetap dalam batas syariat, tanpa kezaliman atau pemborosan.”