"Aut dedere aut punere", "aut dedere aut judicare", dan "par in parem hebet imperium" adalah prinsip hukum internasional yang memiliki arti sebagai berikut:
"Aut dedere aut punere"
berarti "serahkan atau hukum". Prinsip ini mengharuskan negara yang memiliki yurisdiksi atas pelaku kejahatan internasional untuk menyerahkannya ke negara lain yang juga memiliki yurisdiksi, atau untuk mengadili pelaku tersebut.
"Aut dedere aut judicare"
juga berarti "serahkan atau adili". Prinsip ini serupa dengan "aut dedere aut punere", tetapi lebih menekankan kewajiban negara untuk mengadili pelaku kejahatan internasional jika tidak menyerahkannya.
"Par in parem hebet imperium"
berarti "kedua-duanya memiliki kekuasaan, maka tidak ada yang memiliki kekuasaan". Prinsip ini menyatakan bahwa kepala negara tidak dapat diadili di negara lain karena mereka memiliki kekuasaan yang sama di negara mereka sendiri.
Pacta sunt servanda (perjanjian harus dipatuhi), good faith (itikad baik), dan civitas maxima (keanggotaan tertinggi dalam Kekaisaran Romawi) adalah konsep yang penting dalam hukum dan sejarah. Reciprocal berarti saling timbal balik atau timbal balik.
Pacta sunt servanda adalah prinsip hukum internasional yang menyatakan bahwa perjanjian yang sah harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat. Ini berarti bahwa setelah suatu negara menyetujui perjanjian, negara tersebut harus mematuhi semua ketentuan dan syarat yang tercantum dalam perjanjian tersebut.Β
Good faith (itikad baik) adalah prinsip yang menekankan kejujuran dan kejujuran dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam perjanjian. Dalam hukum, ini berarti bahwa para pihak harus bertindak dengan jujur dan tidak dengan niat untuk menipu atau memperdaya pihak lain.Β
Civitas maxima adalah istilah yang merujuk pada keanggotaan tertinggi dalam Kekaisaran Romawi, yang memberikan hak-hak dan hak istimewa khusus kepada individu-individu yang memilikinya.Β
Reciprocal berarti saling timbal balik atau timbal balik. Misalnya, dalam perjanjian dagang, jika negara A setuju untuk memberikan akses pasar ke negara B, maka negara B harus memberikan akses pasar yang setara ke negara A
Makna: Negara berhak mengatur dan menegakkan hukum atas segala yang terjadi di wilayahnya.
π Dalam konteks ICC:
Jika suatu kejahatan terjadi di negara pihak (misalnya Uganda atau Perancis), maka ICC punya kewenangan, bahkan jika pelakunya berasal dari negara non-pihak seperti Indonesia.
Makna: Negara punya hak untuk menindak warganya di mana pun mereka berada.
π Dalam ICC:
Jika pelaku adalah warga negara dari negara pihak, ICC berwenang β tapi ini juga berimplikasi bahwa negara non-pihak tidak otomatis kebal, karena yurisdiksi bisa didasarkan pada lokasi kejadian (lihat poin 1).
Tertuang dalam: Pasal 1 & 17 Statuta Roma
ICC hanya bertindak jika negara tidak mampu atau tidak mau menegakkan keadilan secara tulus.
π Makna:
Jika Indonesia serius mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, maka ICC tidak akan ikut campur.
Tapi jika ada dugaan impunitas, barulah ICC bisa turun tangan.
Tidak ada kejahatan tanpa hukum (No crime without law).
π ICC hanya dapat mengadili kejahatan yang terjadi setelah Statuta mulai berlaku (1 Juli 2002), dan dalam lingkup Pasal 5 Statuta Roma.
Tertuang dalam: Pasal 25 Statuta Roma
π Ini artinya ICC mengadili individu, bukan negara, lembaga, atau kelompok etnis. Tidak ada "kekebalan" berdasarkan jabatan (bahkan presiden sekalipun).
Beberapa kejahatan β seperti genosida atau kejahatan perang β dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis) dan siapa pun bisa diadili, di mana pun.
π Meskipun ini bukan dasar utama ICC (karena ICC butuh yurisdiksi via Statuta), prinsip ini menguatkan legitimasi moral dan hukum ICC.
βοΈ ICC tidak bertindak sembarangan. Hanya dalam kondisi tertentu, dan dengan dasar prinsip-prinsip kuat seperti yurisdiksi teritorial, komplementaritas, dan tanggung jawab pidana individu, ICC dapat menyelidiki atau menuntut seseorang β termasuk dari negara seperti Indonesia.
Pasal ini menjelaskan kapan ICC punya kewenangan (yurisdiksi) terhadap suatu kasus.
π Pasal 12 Ayat (2):
Mahkamah hanya dapat menjalankan yurisdiksinya atas suatu kejahatan yang dirujuk sesuai dengan Pasal 13 huruf (a) atau (c) jika:
(a) Negara tempat kejahatan itu terjadi adalah negara pihak, atau telah menerima yurisdiksi Mahkamah; atau
(b) Negara dari mana terdakwa berasal adalah negara pihak, atau telah menerima yurisdiksi Mahkamah.
π Makna:
Kalau pelaku berasal dari negara non-pihak seperti Indonesia, ICC tetap bisa mengadili jika kejahatan dilakukan di wilayah negara pihak.
Ini menjelaskan bagaimana kasus bisa masuk ke ICC.
π Pasal 13: Mahkamah dapat menjalankan yurisdiksi atas kejahatan sebagaimana dalam Pasal 5 sesuai dengan ketentuan dalam Statuta ini, jika:
(a) Suatu negara pihak merujuk suatu situasi kepada Jaksa, atau
(b) Dewan Keamanan PBB, berdasarkan Bab VII Piagam PBB, merujuk suatu situasi, atau
(c) Jaksa memulai penyidikan secara mandiri berdasarkan informasi yang diterimanya (proprio motu).
π Makna:
Walau Indonesia bukan pihak, jika DK PBB merujuk suatu kasus, ICC tetap bisa menyelidiki dan mengadili.
Ini menegaskan bahwa Mahkamah bisa menjalankan fungsinya terhadap individu, bukan negara.
π Pasal 4 Ayat (2):
Mahkamah dapat menjalankan kekuasaan dan fungsinya atas individu, sesuai dengan ketentuan Statuta ini.
π Makna:
Tidak peduli dari negara mana, selama individu tersebut terlibat dalam kejahatan dalam yurisdiksi ICC, ia bisa dituntut.
Menjelaskan 4 jenis kejahatan berat:
Genosida
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan perang
Kejahatan agresi
π Ini jadi batasan jenis kejahatan yang ICC tangani β bukan semua jenis pelanggaran hukum internasional.